Tarian Gandrung adalah seni pertunjukan tarian yang berasal dari Banyuwangi Jawa Timur. Tarian ini muncul sebagai perwujudan rasa syukur masyarakat setiap habis panen. Gandrung masih satu genre dengan Ketuk Tilu dari Jawa Barat, Tayub dari Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian barat, Lengger dari wilayah Banyumas dan Joged Bumbung dari Bali. Bentuk kesenian yang didominasi tarian dengan orkestrasi khas ini populer di wilayah Banyuwangi yang terletak di ujung timur Pulau Jawa. Saking populernya, telah menjadi ciri khas dari wilayah tersebut. Tak salah jika Banyuwangi selalu diidentikkan dengan gandrung. Lihat saja di berbagai sudut wilayah Banyuwangi akan sering banyak patung penari gandrung.
Tarian yang diiringi dengan musik ini dimainkan oleh seorang wanita penari profesional yang menari bersama tamu, terutama pria secara berpasangan. Iringan musik tadi merupakan khas perpaduan budaya Jawa dan Bali. Sementara peralatan musik pengiringnya terdiri dari gong, kluncing, biola, kendhang, dan sepasang kethuk. Kadang-kadang diselingi dengan saron Bali, angklung, atau rebana sebagai bentuk kreasi dan diiringi electone.Gandrung sering dipentaskan pada berbagai acara, seperti perkawinan, pethik laut, khitanan, tujuh belasan dan acara-acara resmi maupun tak resmi lainnya, baik di Banyuwangi maupun wilayah lainnya. Menurut kebiasaan, pertunjukan lengkapnya dimulai sejak sekitar pukul 21.00 dan berakhir hingga menjelang subuh.
Cerita Menyangkut Gandrung
Seperti yang diceritakan oleh para sesepuh Banyuwangi tempo dulu, gandrung Banyuwangi muncul bersamaan dengan pembabatan hutan “Tirtagondo (Tirta arum) untuk membangun ibu kota Balambangan pengganti Pangpang (Ulu Pangpang). Pembabatan ini dilakukan atas prakarsa bupati kala itu, yakni Mas Alit. Dia dilantik sebagai bupati pada 2 Februari 1774 di Ulupangpang.
Dari cerita tutur yang disampaikan secara turun-temurun, gandrung semula dilakukan oleh kaum lelaki yang membawa peralatan musik perkusi berupa kendang dan beberapa rebana. Mereka memainkan peralatan musik tersebut di hadapan penduduk yang mampu secara ekonomi. Para pemain tersebut menerima semacam imbalan dari penduduk yang mampu berupa beras atau hasil bumi lainnya.
Seperti yang diceritakan oleh para sesepuh Banyuwangi tempo dulu, gandrung Banyuwangi muncul bersamaan dengan pembabatan hutan “Tirtagondo (Tirta arum) untuk membangun ibu kota Balambangan pengganti Pangpang (Ulu Pangpang). Pembabatan ini dilakukan atas prakarsa bupati kala itu, yakni Mas Alit. Dia dilantik sebagai bupati pada 2 Februari 1774 di Ulupangpang.
Dari cerita tutur yang disampaikan secara turun-temurun, gandrung semula dilakukan oleh kaum lelaki yang membawa peralatan musik perkusi berupa kendang dan beberapa rebana. Mereka memainkan peralatan musik tersebut di hadapan penduduk yang mampu secara ekonomi. Para pemain tersebut menerima semacam imbalan dari penduduk yang mampu berupa beras atau hasil bumi lainnya.
Setiap hari mereka berkeliling mendatangi tempat-tempat yang dihuni oleh sisa-sisa rakyat Balambangan sebelah timur. Kokon, rakyat yang mengungsi tersebut jumlahnya tinggal sekitar lima ribu jiwa. Imbalan tadi disumbangankan kepada para pengungsi.
Kondisi rakyat tersebut sebagai akibat dari penyerbuan Kompeni yang dibantu oleh Mataram dan Madura pada tahun 1767 untuk merebut Balambangan dari kekuasaan Mangwi. Peperangan tersebut terus berlanjut hingga berakhirnya perang Bayu yang sadis, keji dan brutal pada 11 Oktober 1772. Kompeni memenangkan perang tersebut.
Konon, jumlah rakyat yang tewas, melarikan diri, tertawan, hilang tak tentu rimbanya atau dibuang oleh Kompeni lebih dari 60 ribu jiwa. Sementara sisanya sekitar lima ribu jiwa hidup terlantar dengan keadaannya yang sangat memprihatinkan. Mereka terpencar cerai-berai di desa-desa, di pedalaman, bahkan banyak yang belindung di hutan-hutan. Mereka terdiri dari para orang tua, para janda serta anak-anak yang tak lagi memiliki orangtua.
Mereka mau kembali ke kampung halamannya untuk memulai kehidupan baru. Sebagaian dari mereka ikut membabat hutan Tirta Arum yang akan dijadikan ibu kota. Lalu mereka menetap di ibu kota yang baru dibangun atas prakarsa Mas Alit. Ibu kota tersebut kemudia diberi nama Banyuwangi. Tujuan kelahiran kesenian ini ialah menyelamatkan sisa-sisa rakyat yang telah dibantai habis-habisan oleh Kompeni. Mereka membangun kembali bumi Belambangan sebelah timur yang telah hancur porak-poranda akibat serbuan Kompeni.
Pertama kalinya yang melakukan tarian gandrung adalah para lelaki, yang didandani seperti perempuan. Instrumen utama yang mengiringi tarian gandrung ini adalah kendang. Saat itu, biola telah digunakan. Gandrung laki-laki ini lambat laun lenyap dari Banyuwangi sekitar tahun 1890-an. Diduga lenyap karena ajaran Islam melarang lelaki berdandan seperti perempuan. Sebenarnya, tari gandrung laki-laki benar-benar lenyap tahun 1914, setelah kematian penari terakhirnya, yakni Marsan.Kesenian gandrung Banyuwangi masih tegar dalam menghadapi gempuran arus globalisasi, yang dipopulerkan melalui media elektronik dan media cetak. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi pun mulai mewajibkan setiap siswa dari SD hingga SMA untuk mengikuti ekstrakurikuler kesenian Banyuwangi.
Sejak tahun 2000, antusiasme seniman-budayawan Dewan Kesenian Blambangan meningkat. Gandrung, dalam pandangan kelompok ini adalah kesenian yang mengandung nilai-nilai historis komunitas Using yang terus-menerus tertekan secara struktural maupun kultural. Dengan kata lain, Gandrung adalah bentuk perlawanan kebudayaan daerah masyarakat Using.
Perkembangan selanjutnya, tari Gandrung resmi menjadi maskot pariwisata Banyuwangi yang disusul pematungan gandrung terpajang di berbagai sudut kota dan desa. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi juga memprakarsai promosi gandrung untuk dipentaskan di beberapa tempat seperti Surabaya , Jakarta , Hongkong, dan beberapa kota di Amerika Serikat.
sumber : http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/886/tarian-gandrung
0 komentar:
Posting Komentar